Makanan

Makanan Khas Garut sangatlah terkenal di Indonesia. Makanan yang paling terkanal asal Garut ialah Dodol.
Namun kali ini saya akan bahas makanan khas garut selain dodol. Yang perlu kita ketahui ialah indonesia memiliki berbagai makanan khas daerah. Salah satu yang terkenal juga ialah makanan khas yogyakarta.
Oleh karena itu sebagai orang Indonesia kita harus bangga dengan keanekaragaman ini

Makanan Khas Garut

1. Dodol Garut
4 Makanan Khas Garut
Dodol Garut merupakan makanan khas asal Garut yang sangat terkenal. Bahkan menjadi maskot kota ini. Masyarakat Garut sangat menyukai makanan yan g satu ini karena rasanya yang manis. Dodol sendiri memiliki berbagai bahan dasar seperti wijen,tomat,durian dan masih banyak lagi.
Jika anda berkunjung ke Garut jangan khawatir oleh-oleh khas Garut yang satu in mudah ditemukan di berbagai tokoh oleh-oleh 

2. Jeruk Garut

4 Makanan Khas Garut
Makanan yang sudah mendapat pengakuan sebagai salah satu varietas unggul ini memiliki rasa sangat khas. Sehingga banyak sekali orang membudidayakan jeruk ini. Jeruk ini sekarang menjadi salah satu komuditas yang patut dan layak di kembangkan karena potensinya yang besar

3. Burayot

4 Makanan Khas Garut
Burayot adalah makanakhas Garut selanjutnya. Makanan yang satu ini terbuat dari Gula merah dan tepung beras , bahan dan rasanya mirip dengan makanan khas daerah lainnya "Ali Agrem" karena dibuat "ngaburayot"(bahasa sunda yang berarti keriput). Itulah alasan makanan ini diberi nama burayot

4. Ladu
Mungkin makanan ini masih asing ditelinga masyarakat luas.Namun makanan asal garut ini sangat terkenal di daerahnya.Ladu terbuat dari beras ketan lalu diolah dengan resep tertentu. sehingga menjadi makanan yang unik dengan cita rasa yang unik pula.

5. Angleng dan Aneka Wajit

4 Makanan Khas Garut
 Pada dasarnya makanan yang satu ini hampir sama dengan dodol yang terkenal itu. Bahan makanan yang satu ini diolah dari beras ketan dan gula merah. Namun dalam proses pembuatannya terdapat perbedaan dengan pembuatan dodol yaitu kalau dodol dalam pembuatannya akan dibentuk seperti karamel sedangkan pada angleng dan wajit tidak.

Badeng

Kesenian tradisional BADENG diciptakan pada tahun 1800 yaitu di jaman Para Wali, kesenian ini mula-mulanya diciptakan oleh seorang tokoh penyebar agama Islam bernama ARFAEN NURSAEN yang berasal dari daerah Banten yang kemudian terus menetap di Kampung Sanding Kecamatan Malangbong Kabupaten Garut, beliau dikenal masyarakat disana dengan sebutan LURAH ACOK.

Lurah Acok berfikir didalam hatinya bagaimana caranya supaya ajaran agama Islam dapat menyebar luas di masyarakat waktu itu agama Islam sangat asing sekali. Pada suatu saat dia pergi menuju suatu perkampungan di daerah Malangbong dan di tengah jalan beliau menemukan sesuatu benda yang bentuknya panjang bulat terbuat dari bambu serat dengan tidak sadar maka benda itu dibawanya ke rumah dan bambu tersebut dibuat suatu alat yangt bisa mengeluarkan bunyi. Pada saat itu juga ARFAEN mengumpulkan para santri dan mereka disuruhnya membuat alat-alat lainnya yang terbuat dari bambu-bambu yang sudah tua untuk memadukan bunyinya dengan alat yang Arfaen buat tadi dan kemudian bambu-bambu tersebut disusun dibuat sedemikian rupa sehingga dapat mengeluarkan suara yang nyaring dan dicobanyalah semua alat-alat itu ditabuh/dibunyikan maka terdengarlah irama musik, kalau masa kini yang sangat enak didengar ditambah dengan nyanyian-nyanyian yang beriramakan Sunda Buhun dan Arab / Solawatan.

Dari mulai saat itulah Lurah Acok dan Para Santrinya setiap hari, setiap minggu, setiap bulan berkeliling mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat, umaro dan tokoh-tokoh santri untuk berkumpul bermusyawarah sambil memasukan ajaran-ajaran agama Islam dengan menabuh seperangkat alat-alat yang dibuatnya itu dengan membawakan lagu-lagu solawatan dan lagu-lagu sunda buhun yang isi syairnya mengajak kepada masyarakat banyak untuk masuk agama Islam.

Hampir semua penduduk yang ada di Desa Sanding , di kampung-kampung, di kota-kota sekitar daerah Malangbong bahkan dimana-mana di daerah Kabupaten Garut pada umumnya yang pernah didatangi oleh Lurah Acok menganut ajaran agama Islam.

Maka sejak saat itulah Lurah Acok memberikan nama Kesenian Badeng yang artinya ?Badeng? adalah dari kata Bahadrang yaitu musyawarah berunding dengan suatu alat kesenian. Badeng adalah suatu jenis kesenian sebagai media untuk menyebarkan agama Islam pada waktu itu.

Sampai sekarang kesenian ini masih ada dan dipergunakan sebagai alat hiburan, untuk menyambut tamu-tamu besar, perayaan, Mauludan, khitanan, hajat dan lain sebagainya, hanya saja para pemainnya sudah tua-tua rata-rata berumur 90 tahunan.

Adapun alat-alat Kesenian Badeng tersebut terdiri dari :
-2 (dua) buah Angklung Kecil bernama Roel yang artinya bahwa dua pimpinan pada waktu itu antara kaum ulama dengan umaro (pemerintah) harus bersatu, alat ini dipegang oleh seorang dalang.
-2 (dua) buah dogdog lonjor ujungnya simpay lima yang artinya menandakan bahwa didunia ini ada siang ada malam dan laki-laki dengan perempuan, alat ini dipegang oleh dua orang simpay lima berarti rukun Islam.
-7 (tujuh) buah angklung agak besar terdiri dari : angklung indung, angklung kenclung dan angklung kecer disesuaikan dengan nama-nama hari, alat ini dipegang oleh 4 orang.

Debus

Debus adalah salah satu jenis kesenian tradisional rakyat Jawa Barat yang terdapat di daerah Pameungpeuk Kabupaten Garut ini tercipta kira-kira di abad ke 13 oleh seorang tokoh penyebar agama Islam. Pada waktu itu di daerah tersebut masih asing dan belum mengenal akan ajaran islam secara meluas. Tokoh penyebar agama Islam disebut Mama Ajengan.

Nama Ajengan berpikir dalam hatinya bagai manakah caranya untuk dapat menyebar luaskan atau mempopulerkan ajaran agama Islam karena pada waktu itu sangat sulit sekali karena banyak kepercayaan-kepercayaan dan agama lain yang dianut oleh masyarakat setempat, sedangkan ajaran agama Islam pada waktu itu masih belum dipahami dan dimengerti maknanya.

Pada tengah malam bulan purnama si Mama Ajengan mengumpulkan para santrinya untuk bersama-sama menciptakan sambil dengan belajar menabuh seperangkat alat-alat yang terbuat dari pohon pinang dan kulit kambing sehingga dapat mengeluarkan bunyi dengan irama yang sangat unik sekali yang kemudian kesenian tersebut dinamakan Debus. Dengan cara menyajikan kesenian ini, diharapkan dapat menarik masa yang banyak.

Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan dalam menjalankan tugas menyebarluaskan ajaran agamanya nanti dan mungkin akan banyak rintangan - rintangannya maka disamping belajar kelihaian menabuh alat-alatnya diajarkannya pula ilmu-ilmu kebatinan baik rohani maupun jasmani dipelajarinya pula ilmu - ilmu kekebalan/kekuatan dalam dirinya masing-masing umpamanya tahan pukulan benda-benda keras seperti batu bata , kayu, kebal terhadap golok-golok tajam dsb. Menjalani dan mendalami berbagai ilmu - ilmu kebatinan tersebut untuk menjaga apabila terjadi dikemudian hari sewaktu mereka mempopulerkan ajaran agamanya.

Didalam rangka mempertunjukan kesenian Debus tersebut Mama Ajengan dan para santrinya yang telah mahir dan dibekali oleh ilmu-ilmunya masuk, keluar kampung bahkan ke berbagai kota mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat umaro tua muda, laki-laki perempuan sambil memasukkan pengaruh ajaran agamanya lewat kesenian yang dipertunjukannya itu dengan membawakan lagu-lagu solawatan dan berjanji yang mengambil dari kitab suci Al-Quran yang isinya mengajak masyarakat banyak untuk dapat memahami dan melaksanakan ajaran agama Islam.

Demikianlah yang dilakukan setiap hari, setiap minggu dan setiap bulan oleh Mama Ajengan dengan para santrinya dalam rangka mempopulerkan ajaran agama Islam lewat kesenian Debus sehingga berhasil meningkatkan para pengikutnya hampir di seluruh daerah dengan didirikannya pesantren-pesantren, mesjid-mesjid/surau untuk menampung pengikutnya.

Sampai sekarang secara turun-temurun kesenian Debus masih dipergunakan sebagai media untuk menghibur para tamu yang datang ke daerah tersebut disamping itu sering disajikan pada acara hajatan (kenduri) umpamanya hajat khitanan, hajat perkawinan atau upacara hari besar Umat Islam. Yang sangat unik, sampai sekarang masih diperingati tiap terang bulan purnama tanggal 14 oleh keturunan Mama Ajengan.

Lais

Kesenian Lais diambil dari nama seseorang yang sangat terampil dalam memanjat pohon kelapa yang bernama Laisan, yang sehari-hari dipanggil Pak Lais. Lais ini sudah dikenal sejak zaman Penjajahan Belanda. Tempatnya di Kampung Nangka Pait, Kecamatan Sukawening. Atraksi yang ditontonkan mula-mula pelais memanjat bambu lalu pindah ke tambang sambil menari-nari dan berputar di udara tanpa menggunakan sabuk pengaman. 

Kesenian lais merupakan kesenian tradisional yang memperlihatkan ketangkasan pemainnya. Kesenian ini mirip akrobat yang ditampilkan dalam acara sirkus. Orang yang mengaksikan bisa dibuat berdebar-debar karena pemain lais membuat penonton terpesona. Cara Pak Lais memanjat kelapa sangat berbeda dengan yang dilakukan kebanyakan orang. la cukup memanjat sekali saja untuk mengambil kelapa di beberapa pohon.

Caranya, setelah memanjat clan mengambil kelapa dari satu pohon, ia tidak langsung turun. Tetapi ia akan mencari pohon terdekat clan menjangkau pelepahnya untuk kemudian bergelayun pindah ke pohon lain. Demikianlah seterusnya. la akan berpindah-pindah dari satu pohon kelapa ke pohon kelapa lainnya dengan cara bergelayun melalui pelepahnya. 

Karena keahliannya itu, la sering dipanggil untuk diminta memetik kelepa oleh orang-orang sekampung. Caranya yang unik dalam memetik kelapa akhirnya sering menjadi tontonan masyarakat. Jika ia diminta memetik kelapa, orang suka berbondong-bondong menontonnya, terutama anak-anak. Terkadang, orang yang menonton tidak hanyak bersorak sorai, tetapi membunyikan berbagai tabuhan sambil menari-nari.
Atas inisiatif beberapa tokoh masyarakat, ketangkasan Pa Lais kemudian dimodifikasi dalam bentuk lain dan ditampilkan dalam berbagai acara hiburan. Sebagai pengganti pohon kelapa, dipancangkanlah dua batang bambu setinggi ± 12 – 13 meter, dengan jarakrenggang sekitar 6 meter. Pada ujung kedua batang bambu An dipasang tali atau tambang besar untuk Pak Lais mempertontonkan ketangkasannya. Sementara untuk menyemarakan acara tersebut, disajikan berbagai tabuhan seperti dogdog, terompet, kendang, dan kempul. Selain itu, ditampilkan pula seorang pelawak yang berdialog langsung dengan pemain lais. 

Dalam perkembangannya, kesenian ini ternyata disukai masyarakat. Banyak orang yang sengaja mengundang grup kesenian lais untuk berbagai acara hiburan. Bahkan kesenian ini sempat diundang oleh masyarakat di luar Garut, seperti ke Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatra. Salah satu grup kesenian lais yang sampai sekarang masih hidup berasal dari Desa Cisayad, Kecamatan Cibatu, Garut. Dalam mempertunjukkan lais, grup ini mengiringinya dengan kesenian dogdog atau kendang penca. Mula-mula ditampilkan reog atau lawakan. Baru kemudian pemain lais naik ke atas bambu dan melakukan berbagai atraksi di atas tambang bertelungkup, berputar, tiduran, jungkir balik, berjalan dengan satu tangan, atau turun dari atas bambu dengan kepala di bawah.

Surak Ibra

Surak Ibra merupakan kesenian asli Kabupaten Garut, tepatnya di Kampung Sindang Sari, Desa Cinunuk, Kecamatan Wanaraja. Tujuan dari kesenian Surak Ibra adalah untuk menjalin persatuan dan kesatuan antara pemerintah dan masyarakat. Surak Ibra pada awalnya dikenal oleh masyarakat Garut sebagai seni Boyongan atau Boboyongan yang menampilkan tokoh masyarakat bernama Pak Ibra. Adapun Pak Ibra sendiri adalah seorang pendekar silat yang memiliki kharisma di Garut. Kesenian Boboyongan yan turut menampilkan Pak Ibra, membuat masyarakat mengenal Boboyongan sebagai Surak Ibra. Konon hal tersebut dilakukan sebagai penghormatan kepada Bapak Ibra.
Uniknya, Surak Ibra, atau kesenian sejenis belum ditemukan di daerah lain. Surak Ibra muncul dari tahun 1910, berawal dari seorang tokoh masyarakat bernama Bapak Eson yang mengembangkan kesenian Boboyongan. Maka, oleh masyarakat pun disebut sebagai Surak Eson. Setelah sepeninggal Bapak Eson, Surak Eson pun tidak popular lagi dan masyarakat kembali menyebut Boboyongan sebagai Surak Ibra. Adapun pada 30 Mei 1910 di kasepuhan Cinunuk terbentuk organisasi bernama Himpunan Dalem Emas (HDE) yang turut serta melestarikan Surak Ibra. Namun organisasi ini bubar pada 1948, dengan mempertimbangkan bahwa Kesenian ini milik Negara, maka sejak 1948 pengelolaan Surak Ibra dilanjutkan aparat desa.
 
Pada masa lalu, mungkin di masa Hindia-Belanda, Surak Ibra dipertunjukkan pada pesta-pesta di Garut yang biasa dikenal sebagai Pesta Raja. Pada saat itu para Bupati Garut mengadakan hajatan. Dalam perkembangannya Surak Ibra sering ditampilkan dalam hari-hari besar seperti; Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Kesenian ini berkembang di Desa Cinunuk, Garut, dimana banyak masyarakat berziarah ke makam Cinunuk.
 
Dalam perkembangan selanjutnya, dari perkembangan Surak Ibra, dewasa ini Bapak Amoh menjadi dikenal sebagai tokoh pewaris Surak Ibra. Di dalam pelbagai kegiatan, Bapak Amoh selalu memimpin Surak Ibra dari Garut dan dipercayai masyarakat pendukung Surak Ibra sebagai sesepuh. Surak Ibra dewasa ini telah menjadi seni pertunjukan khas Garut, selain tak ada di daerah lain, juga memiliki sifat fleksibel sebagai potensi seni kemas yang kolosal, dan telah dibuktikan ketika diundang dalam Pesta Seni ITB tahun 2000, dengan mengusung patung Ganeca oleh puluhan penari Surak Ibra, yang pertunjukkannya sempat memukau penonton Pesta Seni pada waktu itu.

Dodombaan

Jika Subang memiliki kesenian Sisingaan, garut juga memiliki kesenian yang tak kalah menarik yaitu Dodombaan. Garut memang sangat identik dan terkenal dengan hewan khas nya yaitu domba garut, Domba garut memang sangat terkenal karena kualitasnya yang baik dan memiliki tubuh yang kekar.

Domba garut selain sebagai Icon hewan khas kabupaten garut juga kerap sekali diikutsertakan atau dijadikan sebagai icon kesenian. Seperti contohnya kesenian adu ketangkasan domba dan selain itu ternyata adalagi kesenian yang menjadikan domba sebagai iconnya, kesenian tersebut dinamakan dodombaan. Berbeda dengan kesenian ketangkasan domba yang memang agak mengandung unsur kekerasan, karena memang adu ketangkasan tersebut dengan cara mengadu domba secara langsung. Kesenian dodombaan ini justru tidak mengikut sertakan domba asli secara langsung akan tetapi, domba hanya dijadikan icon saja dengan membuat domba palsu atau dodombaan.

Kesenian dodombaan sekilas hampir mirip dengan kesenian daerah lain tepatnya subang yaitu kesenian sisingaan bedanya pada kesenian dodombaan yang dijadikan iconnya adalah domba dan bukan singa. Kesenian dodombaan sendiri, berasal dari Desa panembong kecamatan Bayongbong Kabupaten garut. Unsur-unsur yang ada pada pementasan dodombaan ini ialah satu atau dua orang yang melakukan gerakan atau ibing pencak selat yang mengawal dodombaan, lalu Delapan Orang dengan memakai kostum tertentu yang khas yang memikul patung domba dari kayu yang bisa ditunggangi seperti pada kesenian sisingaan. Dan untuk unsur iringan musik pada kesenian dodombaan ini menggunakan tetabuhan seperti alat-alat musik yang sering digunakan pada acara atau mengiringi acara pencak silat.

Dodombaan sendiri merupakan salah satu kesenian yang terinspirasi dan merefleksikan kegagahan dan keperkasaan dari domba garut.

Kesenian Dodombaan pada zaman sekarang memang sudah sangat sulit untuk kita jumpai, karena memang kesenian dodombaan sudah jarang di pentaskan, kesenian dodombaan hanya di pentaskan biasanya pada event event tertentu saja dan itu pun juga sangat jarang sekali. Oleh karena itu, tidak heran memang bahwa warga garut sendiri masih banyak yang belum tahu akan kesenian daerahnya sendir. Miris memang melihat realita di masyarakat yang sudah banyak melupakan warisan Nenek moyang. Seharusnya, jangan hanya ketika budaya itu diklaim negara lain seperti kasus reog ponorogo, batik dan lainnya, kita semua baru bertindak dan melakukan pelestarian. Alangkah baiknya kita sebagai generasi penerus harus senantiasa menjaga dan melestarikan segala budaya dan kesenian yang telah diwariskan nenek moyang kita. Jangan sampai kita menjadi orang yang termasuk kedalam kelompok orang “kacang lupa kulit”.

Garut

Garut
Garut berawal dari pembubaran Kabupaten Limbangan pada tahun 1811 oleh Daendels dengan alasan produksi kopi dari daerah Limbangan menurun hingga titik paling rendah nol dan bupatinya menolak perintah menanam nila (indigo). Pada tanggal 16 Pebruari 1813, Letnan Gubernur di Indonesia yang pada waktu itu dijabat oleh Raffles, telah mengeluarkan Surat Keputusan tentang pembentukan kembali Kabupaten Limbangan yang beribu kota di Suci. Untuk sebuah Kota Kabupaten, keberadaan Suci dinilai tidak memenuhi persyaratan sebab daerah tersebut kawasannya cukup sempit.

Berkaitan dengan hal tersebut, Bupati Limbangan Adipati Adiwijaya (1813-1831) membentuk panitia untuk mencari tempat yang cocok bagi Ibu Kota Kabupaten. Pada awalnya, panitia menemukan Cimurah, sekitar 3 Km sebelah Timur Suci (Saat ini kampung tersebut dikenal dengan nama Kampung Pidayeuheun). Akan tetapi di tempat tersebut air bersih sulit diperoleh sehingga tidak tepat menjadi Ibu Kota. Selanjutnya panitia mencari lokasi ke arah Barat Suci, sekitar 5 Km dan mendapatkan tempat yang cocok untuk dijadikan Ibu Kota. Selain tanahnya subur, tempat tersebut memiliki mata air yang mengalir ke Sungai Cimanuk serta pemandangannya indah dikelilingi gunung, seperti Gunung Cikuray, Gunung Papandayan, Gunung Guntur, Gunung Galunggung, Gunung Talaga Bodas dan Gunung Karacak.

Saat ditemukan mata air berupa telaga kecil yang tertutup semak belukar berduri (Marantha), seorang panitia "kakarut" atau tergores tangannya sampai berdarah. Dalam rombongan panitia, turut pula seorang Eropa yang ikut membenahi atau "ngabaladah" tempat tersebut. Begitu melihat tangan salah seorang panitia tersebut berdarah, langsung bertanya : "Mengapa berdarah?" Orang yang tergores menjawab, tangannya kakarut. Orang Eropa atau Belanda tersebut menirukan kata kakarut dengan lidah yang tidak fasih sehingga sebutannya menjadi "gagarut".

Sejak saat itu, para pekerja dalam rombongan panitia menamai tanaman berduri dengan sebutan "Ki Garut" dan telaganya dinamai "Ci Garut". (Lokasi telaga ini sekarang ditempati oleh bangunan SLTPI, SLTPII, dan SLTP IV Garut). Dengan ditemukannya Ci Garut, daerah sekitar itu dikenal dengan nama Garut.. Cetusan nama Garut tersebut direstui oleh Bupati Kabupaten Limbangan Adipati Adiwijaya untuk dijadikan Ibu Kota Kabupaten Limbangan.

Pada tanggal 15 September 1813 dilakukan peletakkan batu pertama pembangunan sarana dan prasarana ibukota, seperti tempat tinggal, pendopo, kantor asisten residen, mesjid, dan alun-alun. Di depan pendopo, antara alun-alun dengan pendopo terdapat "Babancong" tempat Bupati beserta pejabat pemerintahan lainnya menyampaikan pidato di depan publik. Setelah tempat-tempat tadi selesai dibangun, Ibu Kota Kabupaten Limbangan pindah dari Suci ke Garut sekitar Tahun 1821. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal No: 60 tertanggal 7 Mei 1913, nama Kabupaten Limbangan diganti menjadi Kabupaten Garut dan beribu kota Garut pada tanggal 1 Juli 1913. Pada waktu itu, Bupati yang sedang menjabat adalah RAA Wiratanudatar (1871-1915). Kota Garut pada saat itu meliputi tiga desa, yakni Desa Kota Kulon, Desa Kota Wetan, dan Desa Margawati. Kabupaten Garut meliputi Distrik-distrik Garut, Bayongbong, Cibatu, Tarogong, Leles, Balubur Limbangan, Cikajang, Bungbulang dan Pameungpeuk.
Pada tahun 1915, RAA Wiratanudatar digantikan oleh keponakannya Adipati Suria Karta Legawa (1915-1929). Pada masa pemerintahannya tepatnya tanggal 14 Agustus 1925, berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal, Kabupaten Garut disahkan menjadi daerah pemerintahan yang berdiri sendiri (otonom). Wewenang yang bersifat otonom berhak dijalankan Kabupaten Garut dalam beberapa hal, yakni berhubungan dengan masalah pemeliharaan jalan-jalan, jembatan-jembatan, kebersihan, dan poliklinik. Selama periode 1930-1942, Bupati yang menjabat di Kabupaten Garut adalah Adipati Moh. Musa Suria Kartalegawa. Ia diangkat menjadi Bupati Kabupaten Garut pada tahun 1929 menggantikan ayahnya Adipati Suria Karta Legawa (1915-1929).

Perkembangan Fisik Kota
Sampai tahun 1960-an, perkembangan fisik Kota Garut dibagi menjadi tiga periode, yakni pertama (1813-1920) berkembang secara linear. Pada masa itu di Kota Garut banyak didirikan bangunan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk kepentingan pemerintahan, berinvestasi dalam usaha perkebunan, penggalian sumber mineral dan objek wisata. Pembangunan pemukiman penduduk, terutama disekitar alun-alun dan memanjang ke arah Timur sepanjang jalan Societeit Straat.

Periode kedua (1920-1940), Kota Garut berkembang secara konsentris. Perubahan itu terjadi karena pada periode pertama diberikan proyek pelayanan bagi penduduk. Wajah tatakota mulai berubah dengan berdirinya beberapa fasilitas kota, seperti stasiun kereta api, kantor pos, apotek, sekolah, hotel, pertokoan (milik orang Cina, Jepang, India dan Eropa) serta pasar.
Periode ketiga (1940-1960-an), perkembangan Kota Garut cenderung mengikuti teori inti berganda. Perkembangan ini bisa dilihat pada zona-zona perdagangan, pendidikan, pemukiman dan pertumbuhan penduduk.

Keadaan Umum Kota
Pada awal abad ke-20, Kota Garut mengacu pada pola masyarakat yang heterogen sebagai akibat arus urbanisasi. Keanekaragaman masyarakat dan pertumbuhan Kota Garut erat kaitannya dengan usaha-usaha perkebunan dan objek wisata di daerah Garut.
Orang Belanda yang berjasa dalam pembangunan perkebunan dan pertanian di daerah Garut adalah K.F Holle. Untuk mengenang jasa-jasanya, pemerintah Kolonial Belanda mengabadikan nama Holle menjadi sebuah jalan di Kota Garut, yakni jalan Holle (Jl.Mandalagiri) dan membuat patung setengah dada Holle di Alun-alun Garut.

Pembukaan perkebunan-perkebunan tersebut diikuti pula dengan pembangunan hotel-hotel pada Tahun 1917. Hotel-hotel tersebut merupakan tempat menginap dan hiburan bagi para pegawai perkebunan atau wisatawan yang datang dari luar negeri. Hotel-hotel di Kota Garut , yaitu Hotel Papandayan, Hotel Villa Dolce, Hotell Belvedere, dan Hotel Van Hengel.
Di luar Kota Garut terdapat Hotel Ngamplang di Cilawu, Hotel Cisurupan di Cisurupan, Hotel Melayu di Tarogong, Hotel Bagendit di Banyuresmi, Hotel Kamojang di Samarang dan Hotel Cilauteureun di Pameungpeuk. Berita tentang Indahnya Kota Garut tersebar ke seluruh dunia, yang menjadikan Kota Garut sebagai tempat pariwisata.

Penetapan Hari Jadi Garut
Sebagaimana sudah disepakati sejak awal, semua kalangan masyarakat Garut telah menerima bahwa hari jadi Garut bukan jatuh pada tanggal 17 Mei 1913 yaitu saat penggantian nama Kabupaten Limbangan menjadi Kabupaten Garut, tetapi pada saat kawasan kota Garut mulai dibuka dan dibangun sarana prasarana sebagai persiapan ibukota Kabupaten Limbangan. Oleh karena itu, mulai tahun 1963 Hari Jadi Garut diperingati setiap tanggal 15 September berdasarkan temuan Tim Pencari Fakta Sejarah yang mengacu tanggal 15 September 1813 tersebut pada tulisan yang tertera di jembatan Leuwidaun sebelum direnovasi. Namun keyakinan masyarakat terhadap dasar pengambilan hari jadi Garut pun berubah. Dalam PERDA Kabupaten Garut No. 30 Tahun 2011 tentang Hari Jadi Garut, dinyatakan bahwa Hari Jadi Garut dipandang lebih tepat pada tanggal 16 Februari 1813.

Penelusuran hari jadi Garut berpijak pada pertanyaan kapan pertama kali muncul istilah “Garut”. Seperti dijelaskan dalam Latar Belakang di atas, bahwa ungkapan itu muncul saat “ngabaladah” dalam mencari tempat untuk ibukota Kabupaten Limbangan yang diperintahkan R.A.A Adiwijaya sebagai Bupati yang dilantik pada tanggal 16 Februari 1813. Fakta tentang Jembatan Leuwidaun yang peletakkan batu pertamanya adalah tanggal 15 September 1918 juga tetap diperhitungkan. Dengan demikian, asal mula tercetus kata “Garut” adalah diyakini berada pada sebuah hari antara 16 Februari 1813 s.d. 15 September 1918.

Bangklung



Seni Bangklung merupakan perpaduan antara Seni Terbang dengan Seni Angklung. Dari Seni Terebang diambil kata " bang" dan dari Seni Angklung diambil kata "klung". Nama Seni Bangklung ini di cetuskan oleh Bapak R. Rukasa Kartaatmadja, Kasi Kebudayaan Kabupaten Garut. Para penggarap Seni Terebang dan Seni Angklung juga masyarakat pendukungnya setuju dan menerima dengan senang hati.

Awal pertumbuhan Seni Bangklung yaitu di Kampung Babakan Garut Desa Cisero Kecamatan Cisurupan Kabupaten Garut. Karena mayoritas penduduknya beragama Islam maka tidak akan lepas dari pengaruh Kebudayaan Islam. Mereka menghibur dirinya dengan melantunkan Shalawat Nabi dengan di iringi tabuhan Terebang. Bahkan para Pemuka Agama Islam di sana menggunakan Terebang sebagai media untuk menyebarkan Dakwah Islamnya. Pada saat itu ada dua rombongan Seni Terebang yaitu : Seni Terebang pimpinan H. Ma'sum dam Seni Terebang pimpinan Aki Majusik.

Waditra yang di gunakan terdiri dari
·         Terebang ke-I disebut Kempring yang berfungsi sebagai Pengatur Tempo
·         Terebang ke-II di sebut Tempas dan fungsinya yaitu sebagai Pengiring Kempring
·         Terebang ke-Ill di sebut Bangsing yaitu sebagai Kempui (Goong Kecil)
·         Terebang ke-IV di sebut Indung sebagai Goong
·         Terebang ke-V di sebut Anak       fungsinya yaitu sebagai Juru Lagu (Seperti halnya Kendang pada perangkat Gamelan lain).

Perkembangan Terebang ini terus di perbaharui dan di tata rapi sehingga terbentuklah Seni Terebang lain yang di sebut Nerebang atau Nyalawat yang berasal dari kata Shalawat Ncbi. Lagu-lagu yang di sajikan kebanyakan berbahasa Arab yang bersumber ari Kitab Barjanjij yang berisikan Puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW.

Lama kelamaan terjadi perubahan pada Seni Terebang ini yaitu para penggarapnya menambahkan waditra lain berupa Angklung yang terdiri dari:
·         Empat buah Angklung Ambruk yang berfungsi sebagai pengikut Angklung Roel
·         Empat buah Angklung Roel yang fungsinya sebagai Juru Lagu
·         Satu buah Angklung Engklok       yaitu sebagai pengisi kekosongan tabuhan dari Angklung Ambruk dan Angkluk Roel
·         Satu buah Tarompet sebagai Melodi

Tokoh Angklung Badud yaitu Aki Muntasik dan Aki Mausurpi serta tokoh Terebang yaitu H. Ma'sum dan Aki Majusik berembuk dan akhirnya sepakat bahwa antara Seni Angklung dan Seni Terebang di satukan dan Akhirnya terbentuklah Seni Bangklung ini.

Selain menyajikan lagu-lagu yang bernafaskan ke Islaman, Seni Bangklung juga menyajikan lagu­lagu yang berbahasa Sunda seperti Soleang,. Anjrag, Buncis dan Tokecang. Dalam pertunjukkannya pun di sertakan tarian yang mana gerak tariannya sangat sederhana yaitu menggambarkan perilaku masyarakat tani ketika mengolah sawahnya di pedesaan.

Dari tarian tersebut timbulah bentuk Seni yang lain yang di sebut Seni Yami Rudat. Selain lagu yang syiar-syiarnya merupakan Shalawat Nabi ada juga yang berupa sindiran-sindiran tentang situasi yang terjadi pada saat itu. Hal tersebut merupakan daya tarik bagai para pendukungnya sehingga Seni Bangklung semakin di gemari oleh para penonton.

Busana yang di pakai oleh para pemain Bangklung yaitu Penabuh Terebang dan Angklung Badud mengenakan Baju Kampret, Celana Sontog dan Totopong. Para penari pun btrpakaian sama hanya berbeda wama, ini di maksudkan untuk membedakan pemberian tugas yang diperankannya.

Jumlah pemain Bangklung yaitu 20 orang yang terdiri dari:
Ø  5 orang Penabuh Terebang
Ø  7 orang pemain Angklung Badud
Ø  8 orang sebagai Penari Yami Rudat

Dari sekian banyak pemain Bangklung, satu orang di antara mereka menjadi pimpinan rombongan Bangklung dan biasanya di pilih yan paling tua di antara mereka.